PUCAK LEMPUYANG


untuk ibu

Oleh: sugi LANUS

Tiga burung ketitir terbang dari Puncak Semeru. Mereka melintas di atas Selat Bali dalam iringan suara genta. Dalam tiga dentingan genta, tiga burung suci itu telah sampai di atas pulau Bali. Mereka lalu bersiak tiga, membagi arah dan aras, melambat di antara gemulung awan kumulus. Seekor meliuk ke Ulu Danau Batur. Seekor turun di puncak Tolangkir. Bergemuruh Gunung Agung. Seekor lagi menembus keheningan kabut dan rumpun bambu Puncak Lempuyang.

Apa kabar pedusunan Basang Alas?

Basang Alas adalah sebuah dusun di kaki Gunung Lempuyang. Angkutan umum titik perhentianna di sana. Basang Alas terdiri dari kata Basang (perut), alas (rimba). Perut rimba? Entah kenapa begitu nama dusun itu. Perut Rimba itu titik berangkat orang-orang yang hendak mendaki ke Puncak Lempuyang. Jalan kaki dari sana. Dulu.

Di dusun itu, ketika saya baru lancar membaca, sepulang pendakian saya menemukan sebuah buku ”sejarah” Puncak Lempuyang. Sesungguhnya bukan sejarah, lebih cocok disebut sebagai mythology. Saya membaca berlembar-lembar halamannya. Dan isi buku itu bukan bicara sebagai pelajaran sejarah yang meyakinkan dengan bukti-bukti ilmiah. Ia menghujam ke dada sebagai dongengan. Lalu tumbuh kekal sebagai yang tak ternamai. Dan dongengan ini, saat rindu pada diri datang membuai malat-malat sunyi, ia kembali berdentang, meredam segala niat bercerdas-cerdas. Sebagai guru-lagu menguntai dan menyembunyikan rindu penyair (lango) dalam kakawin, yang tak ternamai itu kawin dengan yang tak ternamai juga.

Mythology itu berkisah tentang diutusnya dua Dewa dan seorang Dewi, oleh Orang Tua-nya, yang beristana di Puncak Gunung Semeru. Menuju Bali, tiga utusan itu menjelma jadi burung ketitir, terbang cepat luar biasa, sehingga jarak Jawa- Bali ditempuh hanya dalam tiga dentingan genta.

”Anakku, pergilah engkau bertiga ke Bumi Banten (Bali), pulau itu sedang bergoyang. Tak ada yang menenangkan. Gunung Agung meluapkan lahar, gemuruh. Batur bergolak. Pergilah ke sana. Tenangkan pulau itu. Kelak, bila telah manusia berkembang di pulau itu, engkau akan dipuja sebagai Dewa-Dewi untuk selama-lamanya,” demikian perintah Sang Ayah, pada dua putra dan seorang putrinya.

Kisah kedatangan dua Dewa dan Dewi yang datang sebagai ketitir itu, dongengan itu, kini hampir tak banyak terdengar. Tapi oleh masyarakat Hindu Bali, tokoh-tokoh yang dalam dongengan itu, dipuja. Yang meliuk ke Ulu Danau Batur itu, kini dipuja sebagai Ida Betari Ulun Danu (Dewi Danuh); yang turun di Puncak Tolangkir, dipuja sebagai Ida Betari ring Tolongkir (Ida Bharata Putra Jaya); yang menembus keheningan kabut dan rumpun bambu Puncak Lempuyang, dipuja sebagai Ida Betara Lempuyang Luhur (Ida Bhatara Gni Jaya).

Semua petani-petani kini memuja Dewi Danuh, Dewi kesuburan pertanian, di Pura Ulun Danu; Ida Betara Putra Jaya sebagai pusat kekuatan hening pencapaian bathin; Bhatara Gni-Jaya menurunkan putra-putra spiritual, muasal Sanak Sapta Rsi, para guru spiritual sebelum era sebelum serbuan Majapahit. Dalam kisah-kisah para orang tua, penekun ”ilmu bathin”, di jagad niskala Lempuyang adalah tangga-tangga bathin, puncak-puncak langit pencapaian spiritual, dijalin bertapis-tapis.

Apa kabar Perut Rimba?

Mengenang pedusunan itu saya panjatkan terima kasih, pedusunan itu telah memberi saya titik keberangkatan menuju ke puncak ke puncak…

(Basang Alas, perut rimba, garba, rahim penetas. Titik berangkat adalah ibu yang melahirkan saya, saya puja dalam plangkiran jantung. Puncak-puncak itu, yang selalu di sini, terus dan terus menjelma, dari detik ke detik. Dimanakah tujuan tanpa titik berangkat? Manakah yang pertama kita puja: awal atau akhir? Apakah kehidupan adalah sebuah garis lengkung yang akan bertemu titik awal dan titik akhir ketika kita menjadi lingkaran? Inikah yang dimaksud ngewindhu dalam rahasia lontar-lontar? Titik awal dan titik akhir bertemu jadi lingkaran utuh? Berhentinya atas-bawah, awal-akhir?)

Di Puncak Lempuyang, tetes-tetes air dari belah bambu, berayun dalam kabut. Semesta terbuka di dada kiri. Berdentang suara gerincing genta, bertabur mantra-mantra. Hujan bunga. Gemitir kuning sepanjang setapak, tanjak-tanjak berlumpur. Dusun Basang Alas terima kasih. Titik berangkat, lolong anjing raung malam-malam. (SL)

BALI POST | Minggu Kliwon, 19 Mei 2002

One thought on “PUCAK LEMPUYANG

  1. Setelah membaca artikel ini, saya mengingat lebat hutan di sekitar tangga pendakian menuju puncaknya, dan yang pasti tulisan ini menambah referensi saya tentang magis Lempuyang. Suksma.

Leave a reply to Nyoman Armada Cancel reply