PRASASTI BALI 1011 & SANG HYANG CATUR DANU


Gerakan Penyelamatan Simpul-simpul Air

oleh Sugi LANUS

JIKA India diberkahi Sang Pencipta dengan berkembangnya tradisi suci di sepanjang aliran sungai Gangga, maka Bali diberkahi Sang Pencipta dengan berkembangnya tradisi pertanian dan berbagai upakara (tradisi suci) yang berpusat di pinggir Sang Hyang Catur Danu (empat danau suci Bali).

Kenyataan kini: Danau-danau mengalami pencemaran dan pendangkalan drastis. Subak dan tegalan terkena imbas kekeringan, pasokan pangan menurun, sehingga kehidupan para petani yang menjaga tradisi suci pertanian makin terlunta.

Bali tahun 1011: Prasasti Kayu Larangan

Pada tahun 1011, tepatnya di desa Air Hwang (sekarang Desa Abang) di tepi Danau Batur, raja ketika itu telah mengeluarkan larangan penebangan kayu yang tegas, rinci dan sistematik. Istilah kayu larangan muncul dalam beberapa prasasti periode itu, rincian kayu terlarang (kayu yang dilindungi kerajaan) sebagai berikut: Kemiri, Bodhi, Sekar Kuning, Waringin, Puntaya, Mendeng, Kamalagi, dan Lumbung. Juga disebut Jeruk, Wunut (Bunut) dan Ano. Untuk urusan pelarangan penebangan kayu dan pengaturannya ditunjuk Hulu Kayu, bersama juru tulis khusus (manyuratang atau penulisan). Salah satu dari Senapati Kuturan pernah memegang jabatan ini sebagai Hulu Kayu, nama beliau sebelum menjadi Senapati Kuturan adalah Dyah Kayup. (Silahkan baca buku: Prasasti I dan II oleh Dr. R. Goris).

Raja-raja Bali abad ke-10 sampai abad ke-12 punya kesadaran tinggi terhadap penyelamatan hutan dan danau. Kawasan ini menduduki posisi teramat penting untuk membangun peradaban. Dalam bilah-bilah prasasti tembaga yang ditemukan desa-desa peminggir danu lainnya, yang dikeluarkan periode itu, jelas tertulis aturan pemanfaatan lahan sekitar danau. Masyarakat Bali Kuna punya sebuah zoning. Disebutkan secara rinci pembagian antara lahan pertanian, ladang rumput untuk makanan ternak dan lahan kayu untuk pertukangan. Juga disebut daerah untuk pembenihan dan penyilangan kuda beserta pajak yang dikenakan. Mereka tahu kalau beberapa jenis rumput untuk ternak bisa mengalahkan resapan akar pohon-pohon. Pohon-pohon sekitar danau lambat laun akan mengering kalau di areal yang sama ditamani rumput-rumput untuk makanan ternak yang sifatnya menyerap air sangat tinggi.

Krama Wintang Danu

Sebagai masyarakat yang dijejali proses modernisasi di abad 21 ini, mungkin kita bisa melakukan hal-hal yang ”modern” untuk menjaga Sang Hyang Catur Danu. Tidaklah dibutuhkan sebuah ”Pasamuhan Krama-Pengempon Sang Hyang Catur Danu” atau mempertemukan seluruh tokoh-tokoh masyarakat dari sekitar 4 danau se-Bali, serta pelibatan peneliti dan pakar danau? Tidakkah dibutuhkan pendapat dan keluhan masyarakat, serta saran-saran mereka perlu dikumpulkan? Tidaklah perlu mereka secara bersama diajak untuk mencari solusi terbaik dari situasi yang mereka hadapi?

Untuk penyelamatan lingkungan, Bali memerlukan sebuah jaringan masyarakat pesisir danau (krama wintang danu), seperti yang pernah ada di zaman Bali Kuna. Dalam situasi kekinian, bukan hanya persoalan upakara pekelem atau ritual saja yang dibahas dan dikerjakan secara bersama yang mendesak diperlukan tergalangnya kerja sama masyarakat (pengempon) Bali yang sadar akan arti penting kelestarian danau bagi kehidupan dan keberlangsungan peradaban manusia Bali. Tidakkah masyarakat pinggir danau punya kearifan menjaga danau secara turun-temurun? Apakah mereka telah sengaja melanggarnya? Atau memang mereka tak punya kearifan dan perlu diajari kearifan lingkungan?

Melalui pembentukan jaringan ini setidaknya masyarakat sekitar danau berpeluang untuk melihat danau sebagai kekayaan hayati dan kekayaan estetika alam Bali. Desa-desa pakraman ada baiknya turut mengemban tanggung jawab untuk membuat peraturan tegas agar masyarakat tidak melakukan pengeboran liar, pembangunan di sekitar danau membuang sampah dan limbah sembarangan. Termasuk juga di dalamnya mengembalikan pekelem agar bebas dari bahan-pahan plastik dan unsur-unsur non-organik.

Ajaran Agama Tirtha

Masyarakat Bali sepertinya perlu menumbuhkan pemahaman yang lebih baik terhadap danau dari perspektif modern science. Sudahkah Pemerintah Bali menfasilitasi dan menggalang riset-riset terhadap alam dan biodiversity danau, serta mencarikan solusi dan jalan keluar bagi danau yang sudah  mengalami pengerusakan dan ekploitasi yang mengancam ekositem danau? Kalau sudah, apakah hasil-hasil temuan mereka sudah disebarluaskan secara memadai dalam penyiaran eletronik dan cetak, serta buku-buku tentang danau-danau di Bali?

Di samping riset-riset yang melibatkan kalangan akademisi lokal dan internasional, kampanye ”Cinta Danau” di kalangan masyarakat Bali (khususnya generasi muda) tampaknya perlu digalang. Akan menarik bagi generasi muda jika secara berkala pemerintah dan swasta memfasilitasi pertemuan-pertemuan, dialog, kegiatan seni, budaya, dan teknologi yang berkaitan dan berhubungan dengan perihal danau. Lewat berbagai media, seperta seri Perangko Danau Bali, lomba lukis, lomba foto sekaligus pamerannya, pembuatan postcard dan pendistribusikannya yang terarah, empat danau Bali akan mempunyai makna yang lebih berarti  bagi orang Bali dan dunia internasional. Apalagi kalau suatu hari nanti bisa digelar sebuah Festival Danau Bali. Agar generasi muda kita tahu dan bersyukur pada alamnya yang kaya, sebaiknya hasil-hasil pertanian dan perikanan, kekayaan teknologi tradisional, perahu, olah raga, lomba memancing budaya dan seni penduduk pinggir danau perlu ”dirayakan” dan digelar dalam sebuah festival penyelamatan danau secara berkala.

Sang Catur Danau, empat danau suci Bali, alangkah baiknya jika disyukuri sebagai swecan Widhi (anugrah Tuhan), dan rasa bersyukur diwujudkan dalam tindakan nyata. Bukankah surutnya air danau dan kotornya beberapa danau Bali adalah bukti kita tidak mensyukuri danau sebagai swecan Widhi? Ini bukan pawisik Ida Batara, tapi barangkali perlu sekadar direnungkan: Tidakkah masyarakat Bali sebaiknya menata ulang diri (Bali) dimulai dari penyelamatan Sang Catur Danu?

Penyelamatan danau berarti penyelamatan alam sekitarnya, menjamin pasokan air bagi subak-subak, pada intinya semuanya menyangkut penyelamatan kehidupan grassroot Bali: Petani dan masyarakat kecil. Bukankah kesadaran untuk menyelamatkan Sang Hyang Catur Danu merupakan kesadaran untuk menjaga nafas kehidupan pertanian Bali?

Jika ditelisik kembali ajaran-ajaran Agama Tirtha, maka di dalamnya tersirat pesan untuk tidak lagi melukai dengan eksploitasi alam sekitar danau-danau Bali. Di dalamnya ada pesan untuk menghentikan segera pengeboran liar yang melukai Ibu Pertiwi, menghentikan pembabatan hutan, menghentikan penyalahgunaan air, dan menyelamatkan danau dan sungai-sungai dari sampah plastik dan limbah.

Gerakan penyelamatan simpul-simpul air menjadi salah satu inti dari ajaran Agama Tirtha. Agama Tirtha mengajari kita untuk menjunjung Ida Betari Dewi Danu, bukan melukai beliau (air dan danau).

Bali Post | Minggu, 28 Januari 2007

One thought on “PRASASTI BALI 1011 & SANG HYANG CATUR DANU

  1. kadang manusia ingin menang sendiri, seharusnya kita selalu belajar dari masa lalu. karena kadang masa lalu lah yang harus kita contohi. bukan memikirkan apa yang modern dan trendy. dunia makin rapuh karena tidak ada yang ingin melihatnya dengan jernih lagi. sesuatu yang seperti inilah yang harus kita pelajari lagi. apalagi di Bali, yang tradisi dan keagamaan sangatlah penting dan masih kuat, kita bisa menjadi contoh yang baik sekali untuk negara dan dunia, kenapa kita tidak berpikir jernih untuk masa depan yang lebih baik?

Leave a comment