PUH, KAPUPUHAN dan PUPUH


PUH, KAPUPUHAN & PUPUH

Sugi Lanus | Sarjana Sastra Bali

Apakah kesedihan menjadi pokok persoalan atau pokok (pohon) tumbuhnya kemajuan renungan manusia?

Dalam Bahasa Jawa Kuna, kata PUH dalam Bahasa Jawa Kuna berarti: “Patah, putus, retak, remuk, hancur, patah hati, putus semangat, perasaan hancur, tak berdaya, kehilangan semua daya, lelah sama sekali”. Tapi jika kata ini ditambahi KA (pada awal) dan AN (pada akhir), jadi KA+PUH+AN, berputar balik 180 derajat (menjelma menjadi sosok lain) bermakna: “Keheranan sekali, kagum, tercengang, ternganga, terpesona, terkesima”. Dari KAPUHAN inilah kekuatan ke-bangkit-an itu datang. Lalu yang patah jadi tumbuh dan terkesima, yang rapuh menjadi ternganga. Yang lelah sungguh jadi terkagum. Dan kita terjaga (jagra), bangun dan bangkit, lalu tersenyum melampaui PUH! Menyanyikan PUPUH (kidung) pujian kehidupan.

PUH dan PUPUH

Biasanya dalam perbincangan dan literatur yang tersedia, pupuh diartikan sebagai aturan tembang yang mengikat sebuah geguritan. Berakar dari pupu adalah koleksi atau kumpulan, atau rumpun. Lalu mupu berarti berbuah atau berhasil. Yak mupupu padine? (Bahasa Bali: Apakah padinya mau berhasil?) Pupuan adalah sebuah nama desa di kaki barat pegunungan Batukaru, di titik tengah pulau Bali. Di sana salah tanah persawahan subur membentang, air berlimpah, dan apa yang ditanam selalu mupu.

Kembali ke pupuh, saya lebih terkesima mengkaitkannya dengan Puh dan Kapupuhan. Saya menulis karena KAPUPUHAN, terkesima bertanya dalam hati: Apa sekiranya kaitan PUH dan KAPUPUHAN dan aturan tembang macepat atau geguritan yang disebut PUPUH?

Perjalanan dari PUH menuju KAPUPUHAN dan tercipta PUPUH menjadi sebuah perjalanan yang (biasa) dialami para kawya atau kawi (pengarang Jawa Kuna). Mereka menulis karena “rindu” dan “duka-lara-kangen” lalu “terkesima dan terharu, hanyut dalam rasa keindahan”. Rangkuman perasaan “terkesima dalam keindahan” atau mungkin juga “dalam keindahan terkesima” ini, dalam Bahasa Jawa Kuna, disebut dengan LANGO, lebih jauh disebut KALANGON (tahap batin hanyut kesima keindahan). Di Bali kami mengenal kata KALANGEN (terharu oleh berbagai sebab, termasuk keindahan alam dan kepedihan hidup).

KALANGON adalah sebuah kesadaran batin akibat hentakan kesima, kagum dan terperanjat. Murung dan kesedihan atau duka, PUH, buduh paling kasmaran ring lango, gundah-gulana menyulut seseorang masuk ke tahap kesadaran batin yang KALANGON tersebut. Seorang peneliti terbaik Jawa Kuna Prof. Zoetmulder, menulis SELAYANG PANDANG SASTRA JAWA KUNA, dengan judul besar: KALANGWAN. Menurut beliau, penulisan sastra Jawa Kuna, baik jenis sastra tembang kakawin dan kidung, digerakkan oleh lango. Dalam bentuk karya sastra inilah pencapaian renungan kebudayaan Jawa dan Bali mencapai titik tertinggi secara estetik dan filosofis. Di sini “rindu” dan “kesepian” manusia Jawa (Kuna) dan Bali menjadi pokok (pohon) tumbuhnya “ilmu” dan “kearifan”.

Memasuki Dunia Pupuh

Di alam budaya Sunda, Jawa, Bali dan Sasak, pupuh masih hidup (ditulis dan ditembangkan) dalam bahasa daerah masing-masing.

Di tengah masyarakat Bali, pupuh disebut Sekar Alit, dan identik dengan kegiatan menembangkannya/melagukannya: macapat atau magaguritan.  Dalam pupuh kita mengenal pada-lingsa, atau bisa dikatakan sebagai “paragraf dan anak kalimat”. Guru wilang merupakan ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh , menyangkut banyaknya suku kata setiap barisnya. Elung (patah) adalah istilah yang digunakan apa bila sebuah pupuh melakukan atau melangar guru wilang. Guru dingdong adalah aturan yang mengatur huruf hidup (vokal) pada tiap-tiap akhir suku kata dalam baris-baris kalimat dalam pupuh. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang (membentang-menghalang).

Ada beberapa pupuh yang terdapat di Bali yang masih ditembangkan di pesantian (kelompok pengajian sastra tembang di Bali) atau di radio-radio, seperti: Pupuh Sinom [terbagi dalam varian-ragam irama atau laras Pelog dan Slendro, seperti: Sinom Lumrah , Sinom Genjek (pelog) dan Sinom Wug Payangan, Sinom Dingdang, Sinom Sasak, Sinom Lawe, Sinom Silir (Slendro)], Pupuh Ginada [Ginada Basur, Ginada Linggar Petak, Ginada Jayapura, Ginada Bagus Umbara, Ginada Candrawati (irama Pelog) dan Ginada Eman-eman/Bungkling (irama Slendro)], Pupuh Durma [Durma Lumrah, Durma Lawe (Pelog)], Pupuh Dandang [Dangdang Gula (Pelog)], Pupuh Pangkur [Pangkur Lumrah (Pelog), Pangkur Jawa / Kakidungan (Slendro)], Pupuh Ginanti [Ginanti Lumrah (Pelog & Slendro) dan Ginanti Pangalang (Pelog & Slendro)], Pupuh Semarandana [Ginanti Lumrah (Pelog) dan Semarandana Mendut (Slendro)], Pupuh Pucung (Slendro dan Pelog), Pupuh Megatruh (Laras Pelog), Pupuh Gambuh (Laras Pelog), Pupuh Adri (Laras Pelog), dan Pupuh Demung (Laras Slendro).

Setiap pupuh mengandung jiwa-semangat-suasana yang mampu membangkitkan suasana jiwa. Di atas panggung suasana duka (sedih, kecewa, tertekan, rindu-duka) dibangun dengan dengan menembangkan Pupuh Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung yang berkarakter haru dan sedih-miris. Pupuh Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati akan ditembangkan saat berkisah tentang suasana aman, tenang, dan tentram. Lalu untuk tegang, cekam, dan marah (kroda) ditembangkan Pupuh Durma dan Sinom Lumrah. Kegembiraan, suasana meriah, sorak senang (ramiya) dalam Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh. Sekalipun salah satu dari pupuh tersebut bisa saling menggantikan, biasanya para penembang atau penulis geguritan paham pergantian tersebut. Memang tidak ada aturan baku tentang pemilihan pupuh untuk membangun suasana hati dan suasana panggung, tapi begitulah apa yang disinggung di atas menjadi semacam acuan yang bersifat umum dalam “pemanggungan perasaan”, dalam arja, drama gong, pewayangan atau pentas teater tradisional lainnya di Bali. Setiap daerah atau kabupaten di Bali punya cengkok dan elogan yang bervariasi sehingga style melantunkan pupuh sangat kaya dan semuannya mendapat tempat di hati masyarakat.

Memasuki dunia pupuh kita diajak mengenal, bukan hanya renungan dan pemikiran, tapi kita memasuki jagat perasaan (sedih, kecewa, tertekan, rindu-duka, suasana aman, tenang, tentram, tegang, cekam, marah (kroda), kegembiraan, suasana meriah, sorak senang (ramia), kangen, patah hati, dstnya), yang menjadi titik berangkat penulisnya dalam menyusun dan membangun PUPUH. Dunia pupuh telah menjadi kendaraan para sastrawan-wati Bali (serta Sunda, Jawa dan Sasak) memasuki dunia rasa dan dan renungan.

Di dalam pupuh semua perasaan sedih-patah-retak (PUH) dan terheran-agob-ngonkelangen-kangen dikawinkan. Pupuh menjadi ruang bagi rasa (rasa), basa (bahasa) dan basita (inti dan puncak keindahan rasa-bahasa) untuk saling bertautan. Ketika rasa, basa dan basita saling bertaut, maka apa yang patah, putus, retak, remuk, hancur, patah hati, putus semangat, perasaan hancur, tak berdaya, kehilangan semua daya, dan lelah sama sekali, semuanya terhalus-baur digiling jadi keindahan. Dalam ikatan rasa-basa-basita kita diajak menjejak pendakian PUH menuju KAPUPUHAN, dari jagat KAPUPUHAN kita diajak untuk bangkit berjalan, menyanyi dan menulis PUPUH. ©SL

One thought on “PUH, KAPUPUHAN dan PUPUH

Leave a comment